jump to navigation

Wako Padangpanjang Membangun Didukung Pusako Tinggi Juni 11, 2008

Posted by wawasanislam in adat minangkabau, opini.
trackback

/ Yulizal Yunus

Cukup banyak pilar-pilar sukses Wali Kota Padang Panjang dr. dr. H. Suir Syam, M.Kes, MMR membangun. Non pisik bidang budaya dan pendidikan, berhasil memfasilitasi penggalian adat budaya yang tumbuh, kembang dan dipakai di salingka 3 nagari Padang Panjang yakni Gunung, Lareh Nan Panjang dan Bukit Surungan, saya satu di antara penulisnya bersama Armen, diterbitkan dalam 6 jilid buku ajar muatan lokal BAM SD-SMP sejak tahun 2004. Plus memfasilitasi penulisan 6 jilid buku Budi Pekerti dan 12 jilid buku bahasa arab yang menceritakan lokal Padang Panjang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Menengah. Bidang pisik tercover kecendekiaan Wako bersama masyarakat adat dipimpin penghulu (angku Datuk) diperkuat unsure progresif (stakeholders kebijakan) dan aliansi strategis lainnya (seperti peneliti perguruan tinggi terutama STSI dan aktor pembangunan lainnya) menjadikan pusako tinggi sebagai investasi mendukung pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang monumental di Padang Panjang terakhir setelah Rumah Sakit megah menyusul Kebun Raya.

Tulisan ini memaparkan isu sukses Wako Padang Panjang dengan asset pusako tinggi. Banyak keluhan di beberapa wilayah Kabupaten dan Kota di Sumbar bahkan menjadi isu publik yang amat merugikan masuknya investor, yakni faktor tanah pusako tinggi di Minang (Sumbar) menghambat pembangunan. Ternyata karena kepiawaian Wako Padang Panjang meng-awai, justru tanah pusako tinggi menjadi faktor terkuat pendorong pembangunan. Rasa terima kasih masyarakat justeru mendahului terima kasih Wako kepada masyarakat adapt dipimpin Datuknya. Karena tanah pusako tinggi yang diinvestasikan untuk pembangunan Padang Panjang, justru daya gunanya berlipat ganda dan membangkik batang tarandam dalam kaum adat, seperti banyak swah lading yang tergadai pada masa dahulu, kini dengan hasil menginvestasikan ulayat mereka itu dapat menebus tanah basah dan kering yang tergadai itu.

Taufik Dt. Mangkuto Rajo, tokoh adat terkemuka di Padang Panjang sering bercerita kepada saya (penulis) ketika meneliti Budaya Padang Panjang dalam rangka penulisan BAM, Budi Pekerti dan Bahasa Arab untuk pendidikan dasar dan Mengah Padang Panjang. Wako dekat dengan para Ninik Mamak. Karenanya wako dianjung tinggi ninik mamak dalam masyarakat adat sebagai payung panji, tempat bernaung.

Karena Wako dekat dengan masyarakat adat dan pimpinan penghulu adat (datuk), kapas saja saatnya Wako membutuhkan lahan untuk pembangunan hamper tidak mendapat halangan yang berarti. Coba bayangkan Padang Panjang, kalau salah-salah awai, setampok (selebar tapak tangan) saja sulit mendapatkan tanah di Padang Panjang, apapun alasannya. Tapi karena sudah bersama rakyat dan dirasakan rakyat sebagai kepentingan bersama, apapun hambatan dapat ditembus.

Tanah pusako tinggi sama pemahamannya di seluruh wilayah Minang. Ibarat batang kayu berbuah manis, buah manisnya boleh dimakan batangnya tidak boleh dijual, apalagi tanah tempat tumbuhnya. Artinya tanah pusako “tak boleh dijual” (dalam dua tanda petik). Di sini sering salah mengerti stakeholders kebijakan publik, ketika investor datang, tanah itu semua mau dikuasai investor, disertikat dan jadi modal investor, bias memudahkan perbankan mengucurkan modal kerja. Artinya tanah pusako tinggi sebagai hak komunal (milik kaum pada satu suku atau milik nagari) menjadi hak privat (investor). Pemilik komunal (masyarakat adat dan penghulu/ datuknya dan anggota ninik mamak) merasa kehilangan dan bisa gigit jari, lalu muncul aksi, tidak mau menjual, saat ini investor dan stakeholder kebijakan publik (pembuat kebijakan dan pengguna kebijakan): berteriak, tanah pusako dan ninik mamak penghalang masuknya investor dan pengahalang pembangunan. Teriakan ini salah sebenarnya, berakar dari ketidakpahaman terhadap pusako tinggi dan tidak paham adat. Fenomena ini sangat distorsi (pemutarbalikan fakta), justru tanah pusako tinggi itu pendorong kuat pembangunan, dan investor dan stakeholders yang tidak paham, akibat mengalihkan pusako tinggi sebagai hak komunil ini kepada privat (pribadi/ perusahaan/ atau stakeholders kebijakan lainnya) justru sebuah proses pemiskinan rakyat.

Bagaimana di Pandang Panjang? Tadinya tanah pusako “tidak boleh dijual” (dalam tanda dua peting). Ya, visi dan persepsi masyarakat sama, tidak boleh dijual. Kalau dijual ada faktor lainnya, dalam perspektif local genius (kecerdasan lokal) Minang, yakni ada makna nilai tambah. Satu dijual, satu hilang dua tiga pengganti datang. Dalam prakteknya menjual pusako tinggi di Minang dengan makna nilai tambah itu tergambar dalam 3 syarat menjual, karena: (1) rumah gadang ketirisan (bocor), (2) mayat terbujur dalam rumah, (3) gadih gadang tak balaki (gadis tua tidak dapat suami).

Rumah gadang simbol dari aset besar orang Minang. Kalau terancam kerobohannya dibolehkan menjual pusaka untuk menyelamatkannya. Mayat terbujur dalam rumah, simbol terhentinya semua perjuangan hidup dan meninggalkan bengkalai, boleh menjual pusaka untuk melanjutkan perjuangan dan meneruskan bengkalai bagi keberlanjutan hidup (survival) Minang. Gadih gadang tak balaki simbol rasa malu tidak bisa meneroka potensi besar bagi peningkatan produksi, boleh menjual pusaka bagi kebahagiaannya.

Kata Taufik Dt. Mangkuto Rajo, lahan pusako yang diberikan ke Pemko di Padang Padang menjadi faktor kuat pendorong pembangunan sarana prasarana Kota Padang Panjang itu, disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat supaya dimaknai nilai tambah. Hasilnya oleh masyarakat digunakan untuk menebus sawah ladang yang tergadai sejak lama dan membahagiakan mereka, di samping bisa menyejahterakan kaum ( memperkuat dan menambah aset dan memperjuangkan kelangsung hidup kaumnya). Melihat fenomena pertambahan nilai itu, malah banyak masyarakat yang menawarkan, kenapa tanahnya juga tak diambil Pemko. Hanya saja disarankan, Pemko terus memperkuat komitmen, menyediakan satu tempat (misal tempat dagang) yang strategi di dekat lokasi lahan (yang diberikan itu) untuk kaum yang punya tanah pusako sebagai aset ekonomi bagi kesejahteraan kaum itu. ***
Padang Panjang, 22 Mei 2008

Komentar»

1. kabati - November 8, 2008

wah mantap tulisan pak. Lah bakalindan sastra jo politik. Atau memang bak itu eloknyo?
Salam dari Gwangju Korsel

2. Hendri - Januari 14, 2009

Assamu’alaikum Wr.Wb Pak Yulizal, Salam kenal, ambo Hendri asal Kambang (34), kebetulan saat ini sedang dapat tugas belajar (PhD program in Electrical Engineering, RMIT University-Melbourne) di Australia, saya mengenal bapak dari pencarian di Internet tentang orang-orang Pasisie yang peduli atas kemajuan bangsa khususnya pasisie. Setiap hari saya selalu berpikir, apa yang salah dengan negara, agama, dan adat, atau masyarakat kita, sehingga tidak ada kemajuan sama sekali di daerah kita. Setelah saya baca dari uraian singkat tentang pendapat bapat dalam hal ini, saya sangat sependapat dengan bapak, bahwa adat kita tidak terbelakang, cuma masyarakatnya yang berubah, yang berubah ke arah yang berlawanan, melupakan adat sehingga mereka tidak punya pijakan yang kuat, tidak punya awal yang jelas, dan tidak punya arah yang pasti, sehingga wandering di belantara hedonism dan materialiasm, hilang dalam terang, menjadi masyarakat consumtive, lebih suka kiblat ke barat, membayangkan wisata identik dengan swimsuits dan bikinies kadang-kadang terlalu paranoid dengan orang luar, kalo tidak bisa dikatakan xenophobia. Saat ini memang kita lagi crisis of identity dan crisis of leadership, kita tidak confident dengan akar budaya sendiri, kita tidak confident dengan apa yang kita punya, kita tidak confident dengan kemampuan kita, dan lebih diperparah lagi kita kebanyakan pemimpin tapi sangat berkekuarangan dengan kepemimpinan, pemimpin yang seharusnya bertindak seperti yang dilakukan Umar bin khatab, merasakan lapar lebih dulu sebelum rakyatnya lapar, berpikir lebih dulu sebelum terpikirkan oleh rakyatnya (sehingga tidak perlu demo untuk mengungkapkan sesuatu). Kita butuh orang-orang yang visioner, bisa mambaco garak jo garik, alun bakilek ala bakalam, pemimpin yang punya pemikiran antisipatif, yang tidak hanya proaktif, tapi lebih progressive dan constructive, berpikiran maju dan mendengarkan dengan seksama usul-pendapat orang sekitar, membuat keputusan yang pas, pas dengan kondisi saat ini dan pas dengan dengan visi yang ingin direalisasikan. Saya pernah diskusi dengan Datuak Rajo Bujang, bahwa datuak-datuak yang ada perlu dibuat suatu sekolah, sekolah yang mengajarkan mereka tetang bagaimana jadi datuak yang sesungguhnya, mereka jadi datuak tidak hanya karena keturunan saja, tapi juga memang punya kapasitas untuk jadi datuak, jadi kayu gadang di tangah koto, yang bisa jadi panutan dengan misi,’ Anak dipangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan, jago nagari jaan binaso,”. Jadi datuak di Zaman globalisasi saat ini adalah posisi yang sangat strategis, datuak adalah wakil dari sukunya, wakil anak kemenakannya, wakil dari korong jo kampuangnya, mereka adalah representative suatu kaum bahkan representative Minangkabau sendiri, bahkan saya pernah usul pada salah seoranng datuak, bagaimana kalo dibuat suatu perda yang memberikan kuota datuak (DPD/ dewan perwakilan datuak) di kursi DPRD, di mana wakilnya dipilih oleh para datuak itu sendiri, sehingga bisa memperjuangkan hak-hak adat dan anak kemenakannya dalam tataran bernegara. Dari beberapa milist yang saya ikuti, banyak keluhan tentang caleg yang akan bertarung di PEMILU 2009, bahwa banyak caleg yang tidak representative, tidak punya kapasitas untuk jadi caleg dan lain sebagainya. Tapi itulah kenyataannya, para calon pemimpin yang dari awalnya saja sudah mendapat keluhan, apa lagi kalo mereka terpilih nantinya, mereka tidak mungkin bisa dengan all out untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, karena mereka memang tidak punya kapasitas untuk itu. Dengan keprihatinan yang mendalam saya coba dekati komunitas yang biasa complaint dengan para caleg ini dengan satu himbauan, bagaimana kalo kita para intelektual ini terlibat dalam politik praktis, tapi apa yang saya dapat dari respon mereka adalah mereka mengatakan bahwa politik itu kotor, politik itu abu-abu dan politik itu terlalu tricky. lalu saya katakan lagi pada mereka bahwa saya sangat bangga dengan para caleg yang kalian anggap tidak representative, tidak punya kapasitas, dan hawa negatif lainnya. Kenapa? Karena mereka sangat confident dengan diri mereka, dan mereka punya keinginan untuk menjadi wakil rakyat, walaupun di atas kertas mereka tidak mempunyai sesuatu yang ideal untuk menjadi wakil rakyat. Dan saya sangat malu sekali dengan diri saya sendiri, dan kalian semua teman-teman saya yang sudah tercerahkan ini bahwa kita hanya sibuk dengan diri kita sendiri, sibuk dengan keilmuan sendiri tanpa peduli dengan lingkungan dan masyarakat yang membutuhkan kita di luar sana. Mungkin kalo kita yang sudah tercerahkan ini ikut berpartisipasi di politik praktis, mereka juga akan mundur teratur, karena mereka juga gak naive untuk bersaing dengan kalian yang sudah punya wawasan yang jauh lebih luas dari mereka, dan mungkin yang lebih tricky lagi dari mereka. Ada satu lagi keresahaan saya sampai saat ini, sewaktu saya masih di kampung (sampai 1992) dan pulang kampuang untuk pertama kali pada tahun 1996 sampai saat ini bahwa masyarakat kita yang di kampuang tidak begitu bangga dengan bahasanya sendiri sehingga mereka lebih suka mengucapkan, menulis nama kampungnya dengan pengucapan bahasa indonesia, sehingga ada satu kasus yang membuat saya merasa tolol dengan apa yang terjadi di kampuang saya, yaitu Pasia Laweh jadi Pasir Lawas, saya kadang-kadang ketawa sendiri, “bisa-bisa tukang pos bingung untuk mengirimkan surat nantinya, karena dia bingung dengan nama alamatnya,”. Dan fenomena lainnya yang saya temukan di kampung kita, mungkin bapak juga menemukan hal yang sama, bahwa anak sekolahan (SMP, SMA, Mahasiswa), di Padang saat ini sudah “Ngomong” tidak Mangecek” lagi atau tidak ‘”Maota” lagi, mereka lebih senang menggunakan gaya bercakap-cakap ala anak Jakarta, walaupun kedengarannya agak aneh bagi telinga saya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Itulah sedikit dari keresahan batin yang saya alami, mungkin sampai di sini dulu Pak Yul, mungkin nanti akan saya lanjutkan (kalo bapak berkenan). Saat ini di sini Jam 23.26 hawanya panas sekali (summer). Saya sangat mengharapkan, kalo bapak tidak keberatan bisa mengirimkan pada saya soft copy Thesis bapak yang berjudul:Akomodasi Nilai Agama dan Adat dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan Pariwisata Pantai Mandeh Resort Pesisir Selatan. Mudah-mudahan tulisan bapak ini bisa mendekatkan saya untuk selalu ingek kampuang halaman. SalamHendri (kampai)
PhD program in Electrical EngineeringSchool of Electrical and Computer EngineeringRMIT University-Melbourne Australia Address: 53 Cardigan Street Carlton Vic 3053 Melbourne AustraliaMobile: +61 430 1975 15Email: hendrikampai@yahoo.com atau hendri.rmit@gmail.comBlog: http://smanlengayang.multiply.comYM: hendrikampai

3. aJO elBADES - Maret 4, 2009

aASS DUNSANAK.. AMBO YO SATUJU LO TUMAH. APO SDO NAN DARI BARAT TU BERTENTANGAN DENGAN ISLAM, KAN INDAK DO KAN…AMBO HERAN DENGN POLA FIKIR MASYARAKAT iSLAM PADO UMUMNYO KHUSUNYO mINANG. CAPEK MANARIMO SUATU PEMIKIRAN NAN BARU DAN CAPEK PULO MENOLAK NYO DENGAN ALSAN BERTENTANGAN DGN ADAT BASANDI SYARA DAN SYARA BASANDI KITOBULLAH. aMBO KINI KO SADANG MANGKAJI TANAH PUSAKO TINGGI uNTUK TESIS mAGISTER AMBO dI ugm YOGYA. DI mINANG KABAU DIMANO PERAN MAMAK ALAH BARUBAH SESUAI DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN. BATUAH NAN SANAK KECEK AN APO PARIWISARA IDENTIK DENGAN PAKAIAN BIKINI?, APO IDENTYIK DENGAN URANG BATALANJANG BULEK, BAJUDI, MABUK2 AN KAYAK DI BALI TUH. KAN INDAK DO KAN..IKO PENGARUH ARAB AMBO KIRO. nAN ARAB ALUN TANTU SASUAI ISLAM, TAPI NAN iSLAM PASTI SESUAI JO BUDAYA INDONESIA, TAMASUAK MINANGKABAU. jADI INTINYO APO??? ADOLAH SEPATUTNYO KITO KEMBALI mENGINDOESIAKNA iSLAM BUKAN MENGARABKAN iSLAM..

4. aJO elBADES - Maret 4, 2009

CONTOHNYO SAJO MASLAH CADAR KOK BADEBAT URANG SASOMO ISLAM. DI AL QURAN INDAK ADO PERINTAH MAMAKAI CADAR. NAN ADO MANUTUP AURAT. BAA CARONYO APO NAN NYO PAKAI TANTU SESUAI BUDAYA MASING2 DLM UMAT ISLAM TP TETAP DLM KORIDOR AL QURAN ALIAS TDK BERTELANJANG. CADAR DAN JILBAB GEDEBRONG-GEDEBRONG KAN BUDAYA ARAB. BUKAN PERINTAH AL QURAN. TETAPI ORANG MENUTUP AURAT TERSERAH SELERA MASING2 DAN HARUSLAH KITO BERPEDOMAN DIMA BUMI DI PIJAK DISITU LANGIK DIJUANJUANG. WASSSALAM

5. aJO elBADES - Maret 4, 2009

DAN SATU HAL LAGI ADAIK KITO TU PALING MODERN DAN SESUAI DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN. HARUSNYO KITO BANGGA DENGAN BUDAYO MINANG NAN KAYO DENGAN KEANEKARAGAMAN MASAKANNYO, TARI2ANNYO, AJARAN2 EKONOMI, POLITIK, SOSIAL BUDAYA, BAA AWAK BAGAUL HIDUIK DIRANTAU,ADAIK SOPAN SANTUN KA ANAK2, SAMO GADANG, KA NANTUO. POKOKNYO THE BEST LAH.dAN PARALU AMBO TAMBAHKAN DISIKO. sISTEM MATRILINEAL ADOLAH SISTEM NAN PALIANG MULIA DI MATO ALLAH, KARANO APO MEMULIAKAN WANITA DAN aLLAH swt PASTI MERIDHOINYO. kITO CALIAK KINIKO DIDAERAH2 DI LUAR MINANG CONTOH JAWA, MANUSI MAKAN MANUSIA,DUKUN, HOMO SEX, LAKI2 KAWIN SAMO LAKI2, KERUSUHAN BESAR2AN, ITU ASALNYO BUKAN DARI RANAH mINANG. rANAH mINANG NAN KITO CINTOI KO ADOLAH NAGARI NAN PALIANG MULIA

6. aJO elBADES - Maret 4, 2009

inti adolah islam nan di anut oleh urang2 indonesia dan urang minang ko lah takontaminasi dek budaya arab, urang bajenggot nyo kecekana malanggar al quran, samapai2 masalah beda caro sumbayangnyo nan ciek baco bismilahnyo kareh2 mambconyo nan cieklai indak baco kareh (dalam hati) saling mengkafirkan. jadi baa dunsanak??? kesimpulan dari sagalonyo adolah Minangkan urang islam pasti islam akan tumbuh. indonesiakan islam , pasti islam akan terhormat, tetapi apobilo kito islamkan urang indoesia, kito islamkan urang minang alun tantu bisa mambnagunnagari ko dengan hebat dan maju (dalam arti kato apo??? karano nan dipelajari dek urang2 kiniko bukan islam tp kebanyakan budaya arab berlabelkan islam). lain kali ambo ingin lebih kenal secar baik dgn penulis) alamat email ambo akarpohon@ymail.com

7. Muslimah - Mei 9, 2009

Bana ajo elBADES. Manyolang ambo ciek jo. Ado fenomena Salah baraja tantang Islam. Budaya dikecekan juo ajaran Islam. Budaya parangai. Islam parangai namonyo tu. Elok-elok lah baraja Islam dan elok pulo baraja adat budaya Minang atau arab tu ndak jo.

8. Hadi - Mei 9, 2009

Menarik diskusi Hendri dengan uwan Yulizal, Rajo Taluk, kampai Pesisir Selatan. Pikiran yang sama juga galau dalam kepala saya, apa yang salah dengan masyarakat dan pimpinan kita, sehingga tidak signifikan bawa kemajuan di daerah kita. Pangkalnya norm adat dan agama itu yang ditinggalkan. Tidak sekedar itu Hendri, malah ada tak mau adat, alergi bahasa adatnya dan merasa repot nilai agama. Maunya lagu nan kalamak di paruik. Saya juga melihat masyarakat kita digerogoti hedonism, duduk, nyantai, ota gadang, pitih habis, jual aset, di kampung ke pekan jual padi, belum saatnya menjadi buruh di lahan sendiri.Parawisata lebih besar pula omongan/ iklan dari kerja dan fasilitasi daerah sendiri, malah tidak berkerja pasti, lihat tu Mande, hampir berhenti, seperti karakok di atas batu. Sepertinya pariwisata membangun daerah tujuan, semua seperti dipersiapkan untuk dijual kepada orang luar, pada hal pengalaman lokal Minang, diperindah nagari kita dulu, kita patri dengan norm adat dan agama, ada aturan dan kontrol, ya untuk kita nikmati, kalau kita sudah menikmati dan orang tau,lalu dikunjungi orang, itu namanya pariwisata, bukan hanya dibaut dan dijual kepada orang saja. Persoalan pimpinannya ini yang kurang visioner. Pimpinan masyarakat adat, sudahlah patut disekolahkan belajar jadi datuk, pejabat pun tak menghargainya pula, katanya datuk itu menghambat pembangunan, tak mau jual pusako ke investor, ndak salah tu, rasanya perlu pula dibuat sekolah pejabat untuk bisa menghargai adat dan datuknya sendiri. Jelek-jelek datuk itu, ia tetap melahirkan kosa kata baru padat makna berpedoman kepada alam. Setuju saya, ada Perda Datuk yang berikan kuota datuak ke DPD/ dewan perwakilan datuak he he, caleg Datuklah, tapi lebih baik Pemda perbesar anggaran bangun adat dan diberdayakan Datuk itu, agar bisa sejajar dengan DPD itu. Kini kan tidak, olah raga yang besar anggarannya, katanya perlu peran Datuk, tapi tak dibangun adat dan lebih sayang pula pada caleg dari pada Datuk, he.


Tinggalkan komentar