jump to navigation

Mahasiswa Indonesia dalam 100 Tahun Bangkitnas dan 10 Tahun Reformasi Juni 11, 2008

Posted by wawasanislam in nasionalisme.
trackback

Mana ideologinya mempertahankan bangsa?

/ Yulizal Yunus

Ketika mahasiswa cepat berproses, dalam 2 tahun saja lepas dari bangku kuliah yang suaranya masih terngiang, bertanya di dalam PBM dan berteriak di halaman dalam gerakan massa, ada yang sudah menjadi pejabat Negara, anggota DPR, Ketua DPRD, Bupati dan Wakil Bupati dsb. Ini, satu di antara fenomena generasi muda yang menunjukkan masih tingginya tingkat keterpakaian konsep “student to day and leader tomorrow (sekarang mahasiswa besok jadi pemimpin)”.

Dari perspektif historis “tiada episode sejarah tanpa perjuangan pemuda”. Pemerintah menyadari pentingnya peranan pemuda. Banyak semboyan pemerintah membesarkan nama dan memberi reward peranan pemuda di antaranya: pemuda harapan bangsa, di tangan pemuda masa depan bangsa, pemuda ialah pemegang tongkat estapet kepemimpinan bangsa masa depan, ingin merebut masa depan yang cemerlang peranankanlah pemuda dan rebut kekuatan mereka dll.

Pemuda itu konsep. Sebagai sebuah konsep kata pemuda punya beban. Beban kata pemuda dapat dirasakan dalam fungsi dan peranan pemuda seperti yang terkandung dalam semboyan pemerintah tadi, yakni beban itu di pundak pemuda masa depan bangsa yang lebih cemerlang. Artinya tanpa peranan pemuda masa depan bangsa suram.

Kesadaran nasional ditandai kebangkitan nasional 1908 dan sumpah pemuda 1928, ditandai kesadaran pemuda dengan peranannya. Di tanah air (pusat dan daerah) dan di luar negeri pemuda Indonesia, sadar ingin bersatu. Mereka menyadari, kekalahan Indonesia dahulu melawan penjajah untuk memerdekakan bangsa, adalah karena bangsa tidak bersatu. Perjuangan pahlawan missal Tuanku Imam Bonjol di Sumbar tidak bersinerji kekuatannya dengan perjuangan Tuanku Umar, Pengeran Diponegoro dan perjuangan pahlawan nasional lainnya di Tanah Air. Imam Bonjol dan Teuku Umar, Pangeran Diponegoro dan pahlawan lainnya yang membayar mahal gerakan kemerdekaan dengan penderitaannya sebagai pemimpin rakyat melawan imperialism dan colonialism, bukan tidak menyadari persatuan dan kesatuan bangsa itu sebagai kekuatan untuk mempertahankan identitas bangsa, interitas bangsa dan kelangsungan hidup bangsa, tetapi dimungkinkan karena komunikasi antar pulau sangat sulit. Tidakah ada ungkapan Imam Bonjol saat ia membayar mahal biaya perjuangan dengan hidupnya: mempertahankan bangsa dari penjajah tidak sulit, tapi mempertahankan persatuan di antara kita aku terluka karenanya. Bahkan Ulama pejuang kita di Minangkabau seperti ungkapan pimpinan ulama tua moderat Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Syeikh Bayang, 1869-1928, makamnya di mihrab Masjid Raya Ganting Padang) selesai rapat besar 1000 ulama di Padang, 19 Juli 1919, dihadiri pemimpin ulama modernis radikal Inyiak HAKA (Inyiak DR, ayah Buya Hamka) dan pimpinan ulama modernis moderat Dr. Abdullah Ahmad, pimpinan ulama tua (tradisional) radikal Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Padaniy (makamnya di Masjid Istighfar Parak Gadang Padang), katanya: kita boleh seperti iftiraq (pecah) ke dalam sesama kita berdebat masalah Islam dan ittifaq (bersatu) ke luar menghadapi penjajah. Betapa tinggi kesadaran nasional para tokoh bangsa ini sejak awal, ditandai semangat dan idealisme, ulama pun bisa membuat strategi mengelabui politik adu domba dengan politik ulama pura-pura pecah tetapi sesungguhnya bersatu menghadapi penjajah berbasis masjid dan surau mereka.

Pejuang, ulama, pemuda dan unsure strategis bangsa ini, betapa mereka sadar hanya dengan persatuan dan kesatuan bangsa dan upaya gigih melawan penjajah bisa menjadi kekuatan besar untuk merdeka dari cengraman penjajah. Sepertinya semboyan SBY, sewaktu memulai masa bhaktinya sebagai Presiden RI “bersama kita bisa”, dan semboyan waktu memperingati 100 tahun Bangkitnas (Kebangkitan Nasional) dan 10 tahun berjalannya reformasi (1988) yakni “Indonesia bisa” mencerminkan betapa ungkapan singkat yang sarat makna itu berakar dari sejarah kesadaran bangsa termasuk unsure pemuda yang membuat bangsa ini bangkit.

Sekarang pemerintah masih punya komitmen kuat mengembangkan potensi pemuda. Menteri pemuda hanya absen awal reformasi, mengapa tanyalah sejarah, apakah karena pemuda sudah dilihat tidak punya ideology lagi, dan berubah menjadi kuda tarik politik dan eporia dalam gerakan masa? entahlah. Masa orde baru Menteri pemuda punya gebyar luar biasa dengan pemuda berbasis KNPI dan Karang Taruna serta OKP dan OKPI lainnya, meskipun digeledeki perannya sudah habis, Menteri Pemuda dan Olahraga tinggal “Dan” (menjadi Menteri Dan) saja lagi, karena kegiatan pemuda dipegang KNPI dan Olah raga dipegang KONI, Menteri tinggal meresmi-resmikan saja lagi kegiatan pemuda di KNPI dan olah raga di KONI itu.
Sekarang Menteri pemuda eksis, tetapi kenapa pemuda sekarang tertidur. Mana semangat pemuda seperti pengalaman sejarah mempelopori kebangkitan nasional 1908, sumpah pemuda 1928, kemerdekaan RI 1945, orde baru 1966 dan reformasi 1998. Mana wawasan kebangsaan pemuda itu sekarang, bagaimana idologi pemuda sekarang?. Sementara visi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI, cukup bagus yakni “terwujudnya partisipasi aktif pemuda dan masyarakat olahraga secara merata untuk meningkatkan wawasan kebangsaan, kemandirian, kepemimpinan yang berahlak mulia, kesehatan dan kebugaran, berprestasi yang dilandasi iman dan taqwa”. Salah satu misi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI mewujudkan visi itu adalah “mempersiapkan kader pemimpin bangsa yang berakhlak mulia yang didasarkan pada pendidikan berkualitas agar memiliki wawasan kebangsaan serta peduli terhadap lingkungan”. Bagaimana pemuda? Peranannya sekarang?. Ayo bangkit dan bangkit, tunjukan siapa pemuda itu?.

Siapa pemuda Indonesia. Pemuda dalam pengelompokan sosialnya ada banyak komponennya secara singkat dapat diklasifikasi yakni (1) Pemuda tersekolah dan (2) Pemuda non tersekolah. Pemuda tersekolah ialah siswa SLTA di kelas terakhir (kelas XII) dan mahasiswa di perguruan tinggi. Pemuda non tersekolah ialah pemuda yang tidak berada di basis lembaga pendidikan, tetapi mereka mempunyai basis di luar sekolah seperti: (a) pemuda fungsional seperti KNPI, AMPI, Organisasi Pemuda yang berafiliasi ke Partai, Karang Taruna dsb., (b) pemuda toritorial yang memiliki wilayah seperti pemuda kawasan tertentu, panguyuban dsb.

Semua komponen pemuda tadi, berperan aktif dalam perjuangan bangsa dan sudah menjadi mitos sejak dulu. Namun di sisi lain ramai pula kritik terhadap perjuangan pemuda sekarang terutama pemuda tersekolah yakni mahasiswa, dipertanyakan ideology mereka, karena melihat kondisi terakhir banyak suara gerakannya tidak lagi professional gerakan moral tetapi sudah bias dan terjadi defiasi kearah gerakan massa yang sulit menghindar dari tindakan kontra produktif dan sikap/ budaya eforia. Jangan dan jangan mereka kehilangan martabat sebagai mahasiswa. Kadang mahasiswa terjual dan tanpa disadari menjadi kuda tarik politik suatu kelompok berkepentingan/ partai dan menghancurkan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan rakyat dan bangsa. Secara ideal mahasiswa bersama masyarakat akademik lainnya harus membuat koridor-koridor akademik dan tidak boleh ditarik-tarik kepentingan politik meskipun tidak harus membenci politik. Menarik ungkapan Prof. Dr. Edy Suandi Hamid Ketua Forum Rektor Indonesia (2008-2009), “jangan alergi politik tapi jangan melupakan tata karma akademik” (Koran Tempo, 23-3-2008:9). Suara lain berkumandang, kalau saja mahasiswa Indonesia seperti mahasiswa Malaysia, belajar saja dengan baik dan tekun di perguruan tinggi lalu sukses, urusan politik serahkan kepada pemerintah, maka budaya (prilaku) seperti itu sebenarnya sudah bernilai sebuah perjuangan yang lebih besar disumbangkan kepada bangsa dan Negara dan mengandung ideologi kebangsaan yang kuat, karena dengan belajar tekun mereka akan lahir menjadi SDM yang berkualitas membangun Indonesia ke depan. Tidakkah bangsa ini ke depan terletak di tangan generasi muda. Kata pepatah student to day and leader tomorrow (sekarang mahasiswa besok pemimpin).

Kenyataan sekarang pemuda tersekolah yakni mahasiswa di perguruan tinggi sudah terjadi kesenjangan kegiatan mahasiswa antara tugas pokok belajar dengan tugas yang katanya kepedulian terhadap bangsa yang diperlihatkan dalam aksi demo yang dominant meninggalkan tugas utamanya belajar. Terutama mahasiswa pria, prestasinya jauh lebih anjlok/ menurun tajam dibanding mahasiswa wanita yang tak getol demo, sebuah fenomena terkini mahasiswa perguruan tinggi yang amat ironis.
Pertanyaan yang paling signifikan terhadap kondisi terkini pemuda tersekolah yakni mahasiswa di perguruan tinggi ini, (1) bagaimana bentuk ideologi dan komitmen kebangsaan mahasiswa sekarang, (2) bagaimana pandangan public terhadap aksi mereka?, sebuah masalah yang menarik didialogkritiskan dalam sebuah forum ilmiah nasional mahasiswa.

Perguruan tinggi (mahasiswa dan masyarakat akademik lainnya) pantas mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah mahasiswa terkini itu. Mungkin meramaikan kegiatan telaah kritis peranan pemuda pasca reformasi berbanding dulu penggerak bangkitnas dan kini serta prediksi masa depan. Kegiatan itu dimungkinkan untuk merekrut dan mengembangkan partisipasi aktif pemuda dan masyarakat olahraga dalam peningkatan wawasan kebangsaan, kemandirian, kepemimpinan yang berahlak mulia, kesehatan dan kebugaran, berprestasi yang dilandasi iman dan taqwa. Atau mungkin merekrut pemikiran mempersiapkan mereka sebagai kader pemimpin bangsa yang berakhlak mulia, terdidik dan memiliki wawasan kebangsaan bagi kepentingan masa depan bangsa. Setidaknya mencari jawaban pemuda “Indonesia bias” sebagai tema 100 tahun Bangkitnas dan 10 tahun reformasi di Indonesia.***

Komentar»

1. nur rohman - Oktober 11, 2010

emm.. pak saya orang biasa suka celingukan sana-sini, menurut saya yang dimaksud pemuda untuk indonesia tidak dipandang dari umur, golongan sosial tertentu, ataupun yang lainnya. Sosok pemuda adalah semangat pemuda diiringi dengan tindakan ke-pemuda-an. semangat tanpa tindakan yang nyata sama juga bohong. sadar massa juga tidak serta merta tertanam dalam diri individu manusianya. sadar massa ini yang paling penting menurut saya. dan butuh berbagai upaya untuk menuju kesana, salah satunya yang bisa dilakukan lewat campaign yang dilakukan mas-mas mahasiswa itu. meski banyak pihak memojokkan mereka dengan berbagai pengorbanan, hal itu tidak lantas menjustifikasi mereka sebagai nihil. harus ada yang melakukan kampanye penyadaran massa. meski idealnya tugas sebagai pelajar mesti maksimal, tapi dalam kondisi mereka ini cenderung mempunyai gagasan murni dan tulus dari kelasnya dibanding orang-orang post student yang uda mempunyai berbagai tendensi politik tertentu. wallahu a’lam bishowab…


Tinggalkan komentar